Aktualisasi Pendidikan Karakter
meitafitrialina
Uncategorized December 21, 2011
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan
dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW
Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan
pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat
perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria
Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian
dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang
pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di
Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural
menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan
psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan
karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi
ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan
karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan
sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang
mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi
pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah,
kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam
pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan
diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian,
membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi
baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya
satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang
menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau
desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan
merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan
kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut
Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju
personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas
dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi
eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi
dalam segala tindakannya.
Pengalaman Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya
tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku
keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi
relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang
berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat
manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang
ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan
pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme
yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum
matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius
dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat
pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran
logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru
hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi
beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Berdasarkan fenomena tersebut maka di Indonesia
akhir-akhir ini sedang in digalakkan pendidikan karakter. walapun sampai saat
ini juga belum menemukan bentuk yang jelas untuk bisa diaktualisasikan dalam
pembelajaran di sekolah.
Aktualisasi Pendidikan karekter di Sekolah
Para ahli pendidikan masih memperdepatkan
bentuk aktualisasi pedidikan karakter untuk dimasukkan dalam proses
pembelajaran sekolah. perdebatan masih dilakukan sekitar:
Apakah pendidikan karakter menjadi mata pelajaran sendiri atau masuk
dalam mata pelajaran yang sudah ada.
Apakah pendidikan karakter perlu dimasukkan dalam kurikulum sekolah?
Apakah pendidikan karakter
Dalam nuansa perdebatan tentang bentuk pembelajaran di sekolah, dalam
kesempatan ini saya ingin berbagai pengalaman dengan pembeca semua, bahwa
sekolah kami juga sudah menerapkan pendidikan karakter.
sunartombs.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar